baladatakuw
Tuesday, September 9, 2014
Monday, February 10, 2014
Monday, March 12, 2012
GAPURA BATAS KOTA SURAKARTA
Sejak perpindahan Keraton Kartosuro menuju Keraton Surakarta (Boyong Kedhaton) akibat geger pecinan yang terjadi pada hari Rabu Pahing, 17 Sura, dengan sengkalan “Kambuling Puja Asyarsa ing Ratu“ (1670 Jawa = 1745 M atau tepatnya 17 Februari 1745) , Keraton Kasunanan Surakarta melaksanakan banyak pembangunan. Mulai dari bangunan keraton serta bangunan-bangunan pendukung lain, seperti keputren, pemandengan dalem, masjid, pasar dan salah satunya adalah membangun gapura. Pada awalnya hanya dibangun dua pintu/kori untuk masuk ke dalam lingkungan Baluwarti yaitu Kori Gapit Lèr dan Kori Gapit Kidul. Kemudian pintu tersebut ditambah dengan pintu tembusan sebanyak dua buah yaitu di sebelah timur dan barat, sehingga memudahkan lalu lintas para warga di sekitar Baluwarti. Kori Butulan Baluwarti bagian barat daya, sebelah timur Dalem Hadiwijayan, didirikan hari Kamis tanggal 24 Sapar tahun Ehé 1836 (19 April 1906), sedangkan bagian tenggara di Kampung Carangan didirikan hari Senin tanggal 30 Rajab tahun Jimawal 1837 atau tanggal 9 September 1907. Sedangkan untuk Kutho Goro hanya di tandai dengan pathok wates kitho batas wilayah di setiap jalan masuk.
Untuk penataan landscape, Keraton Kasunanan Surakarta menunjukkan konsep lingkaran-lingkaran konsentris. Oleh karena itu wilayah ditata sedemikian rupa sehingga letak keraton berada di tengah-tengah suatu kawasan. Keraton merupakan tempat kediaman raja dan diistimewakan lengkap dengan Parentah Jero-nya. Keraton sebagai pusat kekuatan magis kosmos sehingga disebut pancer (manunggaling keblat papat) Di sekitar keraton merupakan ibu kota yang disebut sebagai wilayah “kutho goro / kutho negoro”. Fungsinya sebagai tempat kedudukan parentah jobo dan sebagai tempat kaum bangsawan di bawah wewenang patih atau Perdana Menteri. Wilayah ini meliputi seluruh daerah yang sebelumnya bernama Desa Sala (tidak terdapat peta geografis maupun batas-batas yang jelas dari Desa Sala). Sejak awal, batas-batas wilayah Kutho Goro telah diberi pathok dan dijaga oleh prajurit keraton. Di sekitar ibukota adalah lingkaran Negara Agung / Negoro Gung yang diperintah oleh pejabat setingkat wedono. Semua tanah Negara Agung berupa tanah lungguh sebagai gaji pejabat kerajaan dan pengelolaannya diserahkan kepada para bekel yang bertugas sebagai pemungut pajak. Pada tiap tahapan perjalanan menuju pusat pemerintahan, terdapat pembatas yang berupa gapura / kori.
Dalam perkembangannya pada masa Sunan Paku Buwono IX (1861 – 1893 M) dikeluarkan aturan tentang penentuan batas wilayah pada tahun 1874 dengan nama Kabupaten Gunung Pulisi yang diperintah oleh Adipati Gunung Pulisi. Dinamakan Gunung Pulisi berdasarkan nama pos-pos keamanan di beberapa wilayah strategis di Kasunanan Surakarta. Kabupaten Gunung Pulisi nantinya akan berkembang menjadi Kabupaten Pangreh Projo bersamaan dengan terbentuknya pengadilan Pradoto Kabupaten dan ditempatkannya asisten residen di kabupaten-kabupaten tersebut. Daerah ini meliputi, Sragen, Ampel, Kartosuro Sukoharjo, Klaten dan Boyolali. Daerah di luar Negorogung terdapat daerah Monconegoro. Daerah Monconegoro terbagi menjadi dua, yaitu Monconegoro Kilen dan Monconegoro Wetan. Sebelum tahun 1830 M (masa kekuasaan Sunan Paku Buwono VII) daerah Monconegoro termasuk wilayah Kasunanan, Monconegoro Wetan terdiri dari Kediri, Blitar, Nganjuk, Trenggalek, Madiun dan Ngawi. Sedangkan Monconegoro Kilen meliputi Banyumas, Banjarnegara, Cilacap dan Karesidenan Bagelen. namun setelah tahun 1830, seluruh wilayah Monconegoro merupakan wilayah Belanda. Untuk daerah pesisiran, merupakan daerah pantai utara Jawa.
Pada masa Sunan Paku Buwono X terjadi perubahan sistem pemerintahan dan administrasi wilayah. Perubahannya antara lain penghapusan dan penggabungan wilayah-wilayah tertentu. Pada tahun 1893, Kabupaten Kartosuro dihapus dan dijadikan wilayah setingkat distrik atau kecamatan. Sunan Paku Buwono X juga membagi Kutho Goro menjadi beberapa Kawedanan, seperti Pasar Kliwon, Laweyan, Serengan dan Jebres. Jadi penanda gapura berubah fungsi karena ada penggabungan wilayah terutama di Kartosuro.
Susuhunan Paku Buwono X (Sunan PB X) yang bertahta dari tahun 1893 – 1939 M melakukan pembangunan dan renovasi besar-besaran, baik di bidang pendidikan, kesehatan, birokrasi pemerintahan, kebudayaan, media massa, sarana publik, arsitektur bangunan dan juga tradisi leluhur. Dalam hal penataan kawasan, Sunan Paku Buwono X mendirikan gapura batas kota (Kori Kitho) di beberapa jalan masuk menuju Kota Surakarta. Gapura-gapura tersebut sebelumnya telah diberi pathok watesing kitho. Adapun alat ukur yang digunakan bernama “Cengkang Kyai Bolodewo” . Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa pada tahun 1930 M, daerah-daerah Mancanegara telah jatuh ke tangan Belanda. Di lain pihak telah terdapat ramalan Hanggawangsa bahwa, “Kerajaan Kasunanan Surakarta bisa berusia sampai 200 tahun, sesudahnya Kasunanan Surakarta tetap berkuasa namun hanya sebatas selebar terbukanya payung” . Jika dilihat dari ramalan tersebut, pada tahun 1930 M, Keraton Kasunanan Surakarta hampir berusia 200 tahun. Dalam hal ini bisa diasumsikan Sunan Paku Buwono X mengembangkan pathok watesing kitho menjadi sebuah gapura untuk menegaskan kekuasaannya terhadap suatu daerah.
Waktu pendirian gapura keraton sekitar tahun 1931 – 1933. Berdasar prasasti yang terdapat di Gapura Grogol, disebutkan bahwa gapura tersebut didirikan pada tanggal 21 Januari 1932 atau dalam sengkalan yang berbunyi “bebekten tiga gapuraning ratu”. Sedangkan dari Gapura Kleco dan Gapura Jurug diinformasikan bahwa gapura didirikan untuk watesing kitho sebagai persembahan dari putra (sentono) dan abdi dalem dalam rangka peringatan 40 tahun kekuasaan Sunan Paku Buwono X (naik tahta pada tahun 1893, berarti gapura didirikan pada tahun 1933). Demikian pula gapura-gapura batas kota Keraton Kasunanan Surakarta yang berukuran kecil, juga didirikan sejaman dengan gapura batas kota yang berukuran besar.
Pendirian Gapura batas kota berfungsi sebagai pembatas sekaligus pintu gerbang masuk ibu kota Keraton Kasunanan Surakarta dengan wilayah kabupaten-kabupaten dan distrik di sekitarnya, seperti:
• Gapura Kleco merupakan pintu masuk kota dari arah Distrik Kartosuro. Pada masa lalu, selain mengapit jalan raya, gapura ini juga mengapit jalur kereta api yang menghubungkan Kota Solo dengan Kartasura. Namun, saat ini jalur kereta api sudah hilang (tertimbun aspal).
• Gapura Grogol merupakan pintu masuk kota dari arah Kabupaten Wonogiri,
• Gapura Jurug merupakan pintu masuk kota dari arah Kabupaten Karanganyar dan Sragen.
• Gapura Baki merupakan batas dari arah selatan
• Gapura Makamhaji merupakan batas Kota Surakarta dengan Distrik Kartosuro. Pada masa boyong kedhaton dari Keraton Kartosuro menuju Keraton Surakarta, rombongan melewati jalan lurus dari barat ke timur. Adapun rute yang dilalui adalah Keraton Kartosuro - Makam Haji (nantinya menjadi Gapura Makam Haji) – Pajang– Jongke - Baron - Coyudan - Slompretan (Klewer) – Lokasi Keraton. Pada masa Mataram Kartosuro jalan ini merupakan jalan utama.
• Gapura Kandangsapi digunakan untuk membatasi Jebres dan Banjarsari. Pada tahun pembuatannya gapura ini merupakan wilayah Kerajaan Mangkunegaran. Pada periode awal Keraton Kasunanan Surakarta, Gapura Kandangsapi masih berupa pathok batas kota yang merupakan batas ibu kota kerajaan dengan hutan yang digunakan untuk berburu keluarga raja. Dimana terdapat kandang sapi untuk menyimpan hasil buruan yang nantinya dibawa ke Pamurakan.
• Gapura Mojo yang menghubungkan Keraton Kasunanan Surakarta dengan dermaga dan penyeberangan di Bengawan Semanggi (Sekarang Bengawan Solo) dari arah timur (Kabupaten Karanganyar). Kondisi sekarang ini, penyeberangan Bengawan Solo telah dibangun Jembatan Mojo, sehingga keberadaan gapura berada di bawah jembatan
Pendirian tujuh buah gapura sebagai batas kota pada masa penjajahan, merupakan bukti eksistensi Kasunanan Surakarta terhadap penjajah (Belanda). Gapura ini juga sebagai penentu mulai berlakunya regulasi keraton. Saat masyarakat luar kota (luar Kutho Goro) memasuki gerbang batas kota secara otomatis mereka harus mematuhi segala peraturan yang diterapkan di kota. Sikap harus berubah apalagi mendekati kerajaan. Pada zaman dahulu terdapat kebanggaan tersendiri bagi masyarakat desa apabila sudah memasuki gapura keraton. Hal ini karena memasuki gapura keraton sama dengan memasuki kota.
Akses antar gapura berjarak 10 meter. Hal ini merupakan gambaran pola pikir Sunan Paku Buwono X dalam membangun sebuah infrastruktur masyarakat. Pembangunan tidak hanya berdasarkan kondisi pada saat itu, melainkan telah memikirkan perkembangan yang terjadi di masa depan. Selain berfungsi sebagai tinggalan yang berbentuk tangible, gapura makamhaji juga merupakan peninggalan intangible, yaitu tentang pemikiran Sunan Paku Buwono X yang jauh ke depan dan nilai-nilai moral yang terdapat di dalamnya.
Oleh karena itu, Gapura Makamhaji tidak hanya dilihat bentuk bangunannya saja, melainkan juga harus diketahui pendidikan moral yang terdapat di dalamnya. Hal ini supaya dapat menjadi teladan pokok dalam perjalanan hidup sejak di dunia hingga meninggal kelak.
Gapura batas kota memiliki nilai penting terhadap Keraton Kasunanan Surakarta dan masyarakat. Adapun nilai penting Gapura Makamhaji adalah:
• Merupakan batas kota Kerajaan Mataram Akhir atau sebelum terjadi Palihan Nagari
• Gapura sendiri dibangun pada masa Sunan Paku Buwono X dalam rangka melestarikan patok batas kota yang telah dibuat sebelumya.
Untuk penataan landscape, Keraton Kasunanan Surakarta menunjukkan konsep lingkaran-lingkaran konsentris. Oleh karena itu wilayah ditata sedemikian rupa sehingga letak keraton berada di tengah-tengah suatu kawasan. Keraton merupakan tempat kediaman raja dan diistimewakan lengkap dengan Parentah Jero-nya. Keraton sebagai pusat kekuatan magis kosmos sehingga disebut pancer (manunggaling keblat papat) Di sekitar keraton merupakan ibu kota yang disebut sebagai wilayah “kutho goro / kutho negoro”. Fungsinya sebagai tempat kedudukan parentah jobo dan sebagai tempat kaum bangsawan di bawah wewenang patih atau Perdana Menteri. Wilayah ini meliputi seluruh daerah yang sebelumnya bernama Desa Sala (tidak terdapat peta geografis maupun batas-batas yang jelas dari Desa Sala). Sejak awal, batas-batas wilayah Kutho Goro telah diberi pathok dan dijaga oleh prajurit keraton. Di sekitar ibukota adalah lingkaran Negara Agung / Negoro Gung yang diperintah oleh pejabat setingkat wedono. Semua tanah Negara Agung berupa tanah lungguh sebagai gaji pejabat kerajaan dan pengelolaannya diserahkan kepada para bekel yang bertugas sebagai pemungut pajak. Pada tiap tahapan perjalanan menuju pusat pemerintahan, terdapat pembatas yang berupa gapura / kori.
Dalam perkembangannya pada masa Sunan Paku Buwono IX (1861 – 1893 M) dikeluarkan aturan tentang penentuan batas wilayah pada tahun 1874 dengan nama Kabupaten Gunung Pulisi yang diperintah oleh Adipati Gunung Pulisi. Dinamakan Gunung Pulisi berdasarkan nama pos-pos keamanan di beberapa wilayah strategis di Kasunanan Surakarta. Kabupaten Gunung Pulisi nantinya akan berkembang menjadi Kabupaten Pangreh Projo bersamaan dengan terbentuknya pengadilan Pradoto Kabupaten dan ditempatkannya asisten residen di kabupaten-kabupaten tersebut. Daerah ini meliputi, Sragen, Ampel, Kartosuro Sukoharjo, Klaten dan Boyolali. Daerah di luar Negorogung terdapat daerah Monconegoro. Daerah Monconegoro terbagi menjadi dua, yaitu Monconegoro Kilen dan Monconegoro Wetan. Sebelum tahun 1830 M (masa kekuasaan Sunan Paku Buwono VII) daerah Monconegoro termasuk wilayah Kasunanan, Monconegoro Wetan terdiri dari Kediri, Blitar, Nganjuk, Trenggalek, Madiun dan Ngawi. Sedangkan Monconegoro Kilen meliputi Banyumas, Banjarnegara, Cilacap dan Karesidenan Bagelen. namun setelah tahun 1830, seluruh wilayah Monconegoro merupakan wilayah Belanda. Untuk daerah pesisiran, merupakan daerah pantai utara Jawa.
Pada masa Sunan Paku Buwono X terjadi perubahan sistem pemerintahan dan administrasi wilayah. Perubahannya antara lain penghapusan dan penggabungan wilayah-wilayah tertentu. Pada tahun 1893, Kabupaten Kartosuro dihapus dan dijadikan wilayah setingkat distrik atau kecamatan. Sunan Paku Buwono X juga membagi Kutho Goro menjadi beberapa Kawedanan, seperti Pasar Kliwon, Laweyan, Serengan dan Jebres. Jadi penanda gapura berubah fungsi karena ada penggabungan wilayah terutama di Kartosuro.
Susuhunan Paku Buwono X (Sunan PB X) yang bertahta dari tahun 1893 – 1939 M melakukan pembangunan dan renovasi besar-besaran, baik di bidang pendidikan, kesehatan, birokrasi pemerintahan, kebudayaan, media massa, sarana publik, arsitektur bangunan dan juga tradisi leluhur. Dalam hal penataan kawasan, Sunan Paku Buwono X mendirikan gapura batas kota (Kori Kitho) di beberapa jalan masuk menuju Kota Surakarta. Gapura-gapura tersebut sebelumnya telah diberi pathok watesing kitho. Adapun alat ukur yang digunakan bernama “Cengkang Kyai Bolodewo” . Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa pada tahun 1930 M, daerah-daerah Mancanegara telah jatuh ke tangan Belanda. Di lain pihak telah terdapat ramalan Hanggawangsa bahwa, “Kerajaan Kasunanan Surakarta bisa berusia sampai 200 tahun, sesudahnya Kasunanan Surakarta tetap berkuasa namun hanya sebatas selebar terbukanya payung” . Jika dilihat dari ramalan tersebut, pada tahun 1930 M, Keraton Kasunanan Surakarta hampir berusia 200 tahun. Dalam hal ini bisa diasumsikan Sunan Paku Buwono X mengembangkan pathok watesing kitho menjadi sebuah gapura untuk menegaskan kekuasaannya terhadap suatu daerah.
Waktu pendirian gapura keraton sekitar tahun 1931 – 1933. Berdasar prasasti yang terdapat di Gapura Grogol, disebutkan bahwa gapura tersebut didirikan pada tanggal 21 Januari 1932 atau dalam sengkalan yang berbunyi “bebekten tiga gapuraning ratu”. Sedangkan dari Gapura Kleco dan Gapura Jurug diinformasikan bahwa gapura didirikan untuk watesing kitho sebagai persembahan dari putra (sentono) dan abdi dalem dalam rangka peringatan 40 tahun kekuasaan Sunan Paku Buwono X (naik tahta pada tahun 1893, berarti gapura didirikan pada tahun 1933). Demikian pula gapura-gapura batas kota Keraton Kasunanan Surakarta yang berukuran kecil, juga didirikan sejaman dengan gapura batas kota yang berukuran besar.
Pendirian Gapura batas kota berfungsi sebagai pembatas sekaligus pintu gerbang masuk ibu kota Keraton Kasunanan Surakarta dengan wilayah kabupaten-kabupaten dan distrik di sekitarnya, seperti:
• Gapura Kleco merupakan pintu masuk kota dari arah Distrik Kartosuro. Pada masa lalu, selain mengapit jalan raya, gapura ini juga mengapit jalur kereta api yang menghubungkan Kota Solo dengan Kartasura. Namun, saat ini jalur kereta api sudah hilang (tertimbun aspal).
• Gapura Grogol merupakan pintu masuk kota dari arah Kabupaten Wonogiri,
• Gapura Jurug merupakan pintu masuk kota dari arah Kabupaten Karanganyar dan Sragen.
• Gapura Baki merupakan batas dari arah selatan
• Gapura Makamhaji merupakan batas Kota Surakarta dengan Distrik Kartosuro. Pada masa boyong kedhaton dari Keraton Kartosuro menuju Keraton Surakarta, rombongan melewati jalan lurus dari barat ke timur. Adapun rute yang dilalui adalah Keraton Kartosuro - Makam Haji (nantinya menjadi Gapura Makam Haji) – Pajang– Jongke - Baron - Coyudan - Slompretan (Klewer) – Lokasi Keraton. Pada masa Mataram Kartosuro jalan ini merupakan jalan utama.
• Gapura Kandangsapi digunakan untuk membatasi Jebres dan Banjarsari. Pada tahun pembuatannya gapura ini merupakan wilayah Kerajaan Mangkunegaran. Pada periode awal Keraton Kasunanan Surakarta, Gapura Kandangsapi masih berupa pathok batas kota yang merupakan batas ibu kota kerajaan dengan hutan yang digunakan untuk berburu keluarga raja. Dimana terdapat kandang sapi untuk menyimpan hasil buruan yang nantinya dibawa ke Pamurakan.
• Gapura Mojo yang menghubungkan Keraton Kasunanan Surakarta dengan dermaga dan penyeberangan di Bengawan Semanggi (Sekarang Bengawan Solo) dari arah timur (Kabupaten Karanganyar). Kondisi sekarang ini, penyeberangan Bengawan Solo telah dibangun Jembatan Mojo, sehingga keberadaan gapura berada di bawah jembatan
Pendirian tujuh buah gapura sebagai batas kota pada masa penjajahan, merupakan bukti eksistensi Kasunanan Surakarta terhadap penjajah (Belanda). Gapura ini juga sebagai penentu mulai berlakunya regulasi keraton. Saat masyarakat luar kota (luar Kutho Goro) memasuki gerbang batas kota secara otomatis mereka harus mematuhi segala peraturan yang diterapkan di kota. Sikap harus berubah apalagi mendekati kerajaan. Pada zaman dahulu terdapat kebanggaan tersendiri bagi masyarakat desa apabila sudah memasuki gapura keraton. Hal ini karena memasuki gapura keraton sama dengan memasuki kota.
Akses antar gapura berjarak 10 meter. Hal ini merupakan gambaran pola pikir Sunan Paku Buwono X dalam membangun sebuah infrastruktur masyarakat. Pembangunan tidak hanya berdasarkan kondisi pada saat itu, melainkan telah memikirkan perkembangan yang terjadi di masa depan. Selain berfungsi sebagai tinggalan yang berbentuk tangible, gapura makamhaji juga merupakan peninggalan intangible, yaitu tentang pemikiran Sunan Paku Buwono X yang jauh ke depan dan nilai-nilai moral yang terdapat di dalamnya.
Oleh karena itu, Gapura Makamhaji tidak hanya dilihat bentuk bangunannya saja, melainkan juga harus diketahui pendidikan moral yang terdapat di dalamnya. Hal ini supaya dapat menjadi teladan pokok dalam perjalanan hidup sejak di dunia hingga meninggal kelak.
Gapura batas kota memiliki nilai penting terhadap Keraton Kasunanan Surakarta dan masyarakat. Adapun nilai penting Gapura Makamhaji adalah:
• Merupakan batas kota Kerajaan Mataram Akhir atau sebelum terjadi Palihan Nagari
• Gapura sendiri dibangun pada masa Sunan Paku Buwono X dalam rangka melestarikan patok batas kota yang telah dibuat sebelumya.
Tuesday, October 25, 2011
Saturday, October 22, 2011
Monday, October 10, 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)